
Review Film Love For Sale: Sebuah Layanan Cinta Yang Membekas
Fenomena menjadi lajang di Indonesia di tahun 2018 ini sepertinya masih menjadi suatu momok menyedihkan bagi siapa pun dan di kelas sosial mana pun.
Seakan menjadi lajang adalah sesuatu yang hina. Semacam ada sebuah toa besar berteriak di depan muka yang mengatakan: HIDUP NGANA GAGAL, JO!
Padahal yah dibalik status lajang tersebut, jangan-jangan orang-orang yang kalian bilang gagal itu malah sudah mencapai suatu prestasi yang bahkan orang-orang yang memiliki pasangan pun belum tentu bisa raih.
Terlebih di era yang semakin modern ini, beberapa orang banyak yang memang memilih untuk tetap sendiri karena kesadaran mereka sendiri. Bukan karena takdir atau cap ‘tidak laku’ yang masyarakat kepo itu coba tempelkan secara paksa dan sepihak.
Baca Juga :
Generasi Z dan Pola Konsumsi Siaran TV di Tahun 2025
Tapi, memang ada juga para lajang yang secara sadar maupun tidak mengamini beberapa persepsi usang tersebut. Beberapa orang masih merasa belum ‘sempurna’ atau belum ‘lengkap’ karena belum menemukan ‘pasangan’ yang menjadi mitos dan legenda itu.
Rong-rongan itu pun diperparah lewat pertanyaan-pertanyaan ‘KAPAN NYUSUL?’ jahil yang muncul di setiap acara keluaga, reuni, atau pertanyaan basi-basi orang-orang ketika sudah lama tidak bertemu.
Padahal, orang-orang enggak mikir apa ya kalau nyusul menikah ataupun berpasangan enggak segampang dan semurah itu.
Enggak ada jaminan bahwa ketika seseorang berpasangan maupun menikah mereka akan menemukan kebahagiaan yang fana itu.
Dan, kawan, film Love for Sale dengan sangat baik mengargumentasikan daftar ‘kegelisan’ itu semua lewat naskah yang solid dan keseluruhan akting yang juara dari segenap para pemainnya.
1. Akting menawan Gading dan Della sebagai Ricard dan Arini
Gading Martin sebagai Ricard di film ini tampil dengan totalitas dan keasikan yang menular. Karakter menyebalkannya sebagai bos percetakan yang strict dan dibungkus dengan kontras kesunyian hidupnya sehari-hari memberikan ruang simpati pada para penonton.
2. Cerita segmented namun Universal
Meskipun diniatkan bagi penonton berusia 21 tahun ke atas karena joker123 adanya beberapa adegan eksplisit. Sebenarnya secara general tidak membuat film ini benar-benar baru bisa dipahami bagi mereka yang harus sudah berumur saja.
Meski wajib diakui ada beberapa pengalaman yang memang akan sangat nendang bagi mereka yang sudah pernah mengalami ditinggal nikah orang tersayang sih.
3. Scene-scene indah dengan detail yang manis
Jika beberapa film romantis Indonesia ada yang ngegas dan langsung memberikan gambaran-gambaran eksplisit para pemainnya di kasur dengan bermandikan keringat. Atau kekonyolan lewat kemanjaan dan ketidaksengajaan bertemu yang tidak masuk akal.
Lain cerita dengan film ini. Love for Sale memunculkan keromantisan dengan wajar seperti kebanyakan pasangan nyata di luar sana.
4. Musik yang menggenapi
Keindahan film ini datang dari kesederhanaan yang ada di dalamnya. Film Love for sale tidak butuh bejibun lagu khusus untuk menggambarkan ambience keresahan dan kasmarannya Ricard dan Arini.
Cukup dengan satu lagu pamungkas yang diputar di momen-momen pas, ruang visual itu pun terisi dengan tepat. Saya sebagai penonton dapat merasakan emosi-emosi yang terjalin antara Ricard dengan Arini.